Fanatisme itu gag ada hubungannya sama sekali dengan tingkat intelegensia. Gag ada kaitannya sama sekali dengan berapa banyak data/informasi/pengetahuan yang telah dikumpulkan. Fanatisme, sederhana aja, adalah indikator sekaligus akibat dari insting yang lemah. Semakin fanatik orang berarti makin lemah instingnya, dan ini berlaku untuk tataran fanatik dalam hal apapun: terhadap agama, terhadap sains, terhadap filsafat, terhadap organisasi kecil dan besar, terhadap idola, bahkan terhadap kebenaran.
Apa maksudnya insting yang lemah: kecenderungan membutuhkan sandaran dan (ini yang mesti dicatat baik-baik) sandaran tersebut berada di luar dirinya. Orang yang berinsting lemah butuh suatu daya pemersatu dari luar untuk menyatukan elemen yang menyususun keseluruhan Diri orang tersebut. Dengan kata lain, orang tersebut gag bisa berpegang pada dirinya sendiri sehingga butuh pegangan dari luar. Dan yang sangat ironis, tragis sekaligus lucu adalah bahwa orang fanatik ini gemar menampilkan diri mereka sebagai manusia yang sangat kuat. Seolah sesuatu yang difanatikkan telah memberi orang tersebut kekuatan yang bisa jadi solusi untuk apa saja.
Ambil teroris yang sudah sampai pada level martir sebagai contoh. Orang seperti itu nampaknya kuat, bertekad bulat, gag goyah sama sekali oleh apapun, bahkan oleh kenyataan bahwa dirinya segera terserak gag karuan. Atau kita kecilkan aja skalanya ke saintisme. Dalam fanatisme jenis satu ini, orang otomatis gag akan percaya pada sesuatu yang gag saintifik. Nampaknya orang seperti demikian ini cerdas, berpikiran mantap dan sistematis, ya begitulah pokoknya.
Dalam kedua kasus semua itu hanya tampaknya. Orang-orang semacam itu cuma mengkeruhkan air supaya kelihatan dalam. Di sinilah lucunya: orang yang memberi tunjuk betapa dirinya kokoh dan kuat dengan sandarannya itu sama dengan menyingkap tingkat kekuatannya sendiri. Entah bagaimana ini kedengarannya, namun menyingkap betapa kuatnya diri malah menyingkap betapa lemahnya diri, dan ini bukan paradoks sama sekali dalam konteks yang sedang saya ocehkan, malahan sebuah efek panggung yang sangat krusial. Jadi sama sekali bukan soal 'seberapa cerdas' yang menjadikan orang fanatik.
Meski memang pendidikan berpengaruh besar untuk menempa kualitas nalar, tapi sangat kecil pengaruhnya perihal membuat orang jadi fanatik. Mengenai hal ini murni karena insting yang lemah, yang gag bisa mempertahankan diri dengan tangan sendiri dari terjangan dunia yang, sejatinya, bersifat kacau. Dan perlu diingat bukan berarti semua teroris dan saintis jadi berinsting lemah. Gag ada upaya generalisasi sama sekali di sini. Saya cuma menyalurkan rasa muak pada kegemaran orang banyak akhir-akhir ini: memakaikan pada tubuh setelan serba mahal, pergi ke pesta topeng dengan topeng berhias bulu-bulu indah dan kilau berlian, tapi sama sekali tidak tahu caranya menari dan parahnya tetap melakukan hal itu sehingga kelihatan tolol kian kampungan.
Comments